DEWAN
PENGURUS PUSAT
PUNGUAN PARMALIM
HIMPUNAN PARMALIM
PENGHAYAT
KEPERCAYAAN TERHADAP TYME
Kantor Pusat : Hutatinggi - Desa Pardomuan Nauli Kec.
Laguboti Kabupaten Toba Samosir 22381
PELEMBAGAAN SOSIAL
Raja Nasiakbagi mengajarkan untuk
mendirikan Ugasan
Torop. Setiap tahun masing-masing warga mengumpulkan
sejumlah tertentu padi atau uang dalam lumbung (kas). Tujuannya menyantuni
kehidupan warga yang tidak mampu. Yatim piatu dan warga miskin dijamin oleh
harta bersama ini. Yang kurang mampu didak diwajibkan memberikan hingga
kehidupannya semakin baik, namun mempunyai hak yang sama.
Parmalim tidak mengenal konsep panti
karena dalam budaya batak adat
do palumehon pinahan, alai tihas do palumehon jolma. Memeliharakan ternak adalah biasa dengan konsep bagi hasil, namun
memeliharakan (karena cacat, miskin dan jompo) manusia adalah pantangan besar.
Bentuk apa pun manusia yang dianugerahkan
kepada keluarga adalah menjadi tanggungjawabnya dan komunitasnya. Konsep itu
tetap hidup dalam Parmalim sehingga warga Parmalim dalam keadaan apa pun tidak
dianjurkan masuk panti asuhan dan tidak berusaha membentuk panti. Kehidupannya
dijamin dengan adanya Ugasan Torop.
Pengurusnya tidak mendapat insentif dari
perkembangan harta ini karena berprinsip mengabdikan diri terhadap pesan Raja
Sisingamangaraja - Raja Nasiakbagi.
Para Pengelola Ugasan Torop ini disebut
juga Suhi Ni Ampang Naopat. Mereka ada di setiap cabang dan mengelola secara
mandiri. Di Pusat disebut juga Suhi Ni Ampang Naopat, tugasnya mengevaluasi
perkembangan Ugasan Torop dan melakukan kebijakan croos subsidi. Bila di salah
satu cabang ada masalah yang harus disantuni Ugasan Torop dan harta mereka
tidak mencukupi, kas dari cabang lainnya dapat digunakan untuk mengatasi
masalah itu.
Ugasan Torop banyak digunakan sebagai modal
awal keluarga baru yang memulai kehidupan baru sehingga semakin berkembang.
Pengelolaannya pun semakin berkembang, yang semula orientasi sosial semata,
namun karena memberi kehidupan yang lebih baik oleh yang menggunakannya
sehingga lajim memberikan “ginurgur” bagian dari laba usahanya yang tidak
dipatok.
Ugasan Torop juga diaturkan untuk
mendapatkan “todoan” dari penjualan ternak, upa raja (bila raja mendapatkan upah dari
pelaksanaan tugasnya) dari ragi-ragi ni sinamot (dari penerimaan harta pauseang dan
panjaean pada saat dilakukan perkawinan. Saat ini dalam pengertian yang berbeda
disebut sinamot). Intinya adalah bila warga Parmalim
mendapatkan rejeki halal, sepantasnya memerikan “todoan” ke Ugasan Torop agar
semakin berkembang.
Target dalam pengertian yang lebih luas,
Ugasan Torop diharapkan mampu menyantuni warga (seluruhnya) bila mengalami
kegagalan panen, atau usaha sehingga terancam kehidupan dasar sehari-hari
selama satu tahun berjalan.
Ugasan
Torop telah pernah membantu korban gempa di Tarutung melalui satkorlak, dan
menampung pengungsi korban gempa itu di kompleks Bale Pasogit. Juga memberi
bantuan kepada korban kebakaran di Porsea.

Sekolah Parmalim
PSHT (Parmalim School Hoeta Tinggi), Didirikan pada 1 Nop 1939
PSHT (Parmalim School Hoeta Tinggi), Didirikan pada 1 Nop 1939

Bale Pasogit Partonggoan
Bale Pasogit Partonggoan, Tempat Peribadatan Pamalim
PELEMBAGAAN
UGAMO MALIM
Ugamo
diartikan suatu kumpulan orang yang melakukan aksi membentuk hubungan dengan
Penciptanya. Raja Mulia yang menerima amanah sedikit ragu atas kemampuannya,
hingga beliau ditemui oleh seorang sosok yang kumal. Beliau menagih janji untuk
melembagakan hamalimon yang disebut UGAMO MALIM. Ketika Raja Mulia hendak
mengucapkan kata pernyataannya siapa diri yang menemuinya, beliau spontan
menghentikan dan mengenalkan diri “Nasiakbagi” tidak memiliki harajaon, dan
harta benda serta kampung halaman.
Raja
Mulia bersedih, karena harus memperkenalkannya “sahabatnya” (didepan
umum disebut sahabat, namun dalam pengakuannya adalah sebagai guru, raja dan
MALIM)
seperti, marga Simatupang, teman pedagang, teman main judi dan lain sebagainya.
Para pengikutnya menyebut Nasiakbagi lebih terhormat menjadi “Raja Nasiakbagi”.
Apa yang diamanatkan Sisingamangaraja XII sebelumnya itu juga dituntut
pelaksanaannya.
Munculnya
Raja Nasiakbagi semakin menguatkan keyakinan Raja Mulia Naipospos akan pesan
yang telah diamanatkan Raja Sisingamangaraja sebelumnya. Raja Nasiakbagi
menyerahkan konsep pengorganisasian dan ajaran Ugamo Malim sesuai dengan apa
yang diterimanya dari Raja Sisingamangaraja. Raja Nasiakbagi selalu menolak
apabila dirinya dianggap sosok Raja Sisingamangaraja XII ataupun penjelmaannya.
Beliau selalu mengatakan bahwa Sisingamangaraja sudah berada disisi Mulajadi
Nabolon.
Gayus
Hutatahean dengan semangatnya menyebarkan informasi bahwa Raja Sisingamangaraja
XII hidup dan jalan bareng dengan Raja Mulia Naipospos menyebabkan dia
ditangkap pemerintah Belanda dan dibuang. Sejak itu tidak ada yang berani
membicarakan Raja Sisingamangaraja.
Penjajah
dan kroninya mencurigai langkah Raja Mulia dan sosok “Nasiakbagi” dan melakukan
fitnah dan pengejaran. Raja Mulia dipenjara beberapa kali karena tidak menyebut
siapa sebenarnya yang menyebut dirinya Nasiakbagi itu. Setelah melihat pola
pengajaran dan pengorganisasian yang dilakukan Raja Mulia sudah mapan, akhirnya
“Raja Nasiakbagi” meninggalkannya.
Tantangan
dan kekerasan banyak dihadapi selama mengembangkan Ugamo Malim. Berbagai
tudingan dan sebutan dilontarkan tidak dijawab. Ada yang menyebut mereka sama
dengan kelompok Parhudamdam, ada yang menyebut Parsitengka ada yang menyebut
Agama Sempalan dari berbagai Agama, ada yang menyebut Animisme, ada yang
menyebut Sipelebegu atau Pelbegu. Sebagian lagi menyebut mereka Parugamo, dan
ada yang menyebut Parsiakbagi. Semua sebutan itu tidak dibantah, karena mereka
yang berkuasa saat itu lebih dominan diterima publik. Ada kepentingan mereka
untuk memberikan stigma buruk kepada kelompok ini agar tidak ada yang mengikuti
atau bila mungkin ditinggalkan para pengikutnya.Karena mereka adalah par-Ugamo
Malim maka lebih lajim disebut menjadi Parmalim.
Mereka
sering dipaksa memberikan sumbangan pembangunan gereja. Pernah mezbah
persembahan Parmalim di Hatinggian dirampas dan dirobohkan atas perintah
Raja Ihutan yang diangkat Penjajah. Pemerintah kolonial akhirnya memberi izin
kepada Kelompok Parmalim yang dipimpin Raja Mulia Naipospos untuk mendirikan
BALE PASOGIT tempat peribadatan di Hutatinggi yang dikeluarkan controleur van
Toba tahun 1921.
STRATEGI
PENGEMBANGAN
Raja
Sisingamangaraja dan raja Nasiakbagi menanamkan motto bagi para pengikutnya
untuk menerima perkembangan tanpa mengorbankan nilai spiritual Batak. Motto ini
dikenal dengan : Parbinotoan Naimbaru, Ngolu Naimbaru, Tondi
na marsihohot.
Parbinotoan Naimbaru
Menerima
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi demi peningkatan kualitas sumber
daya manusia.
Ngolu Naimbaru
Menerima
perkembangan jaman untuk meningkatkan kesejahteraan dan peradaban, tanpa
melanggar etika sosial sesuai tuntunan ajaran Ugamo Malim.
Tondi na Marsihohot
Tetap
bertaqwa kepada Tuhan Debata Mulajadi Nabolon melalui ajaran Sisingamangaraja -
Raja Nasiakbagi tanpa dipengaruhi ajaran keyakinan agama lain.
Parmalim
menyongsong masa depan, tak pernah surut melakukan pedoman dan ajaran yang
dianut walau mengalami banyak hambatan external dan internal. Para tokoh
Parmalim menolak mengikuti pendidikan mission kepada anak-anaknya karena harus
dibaptis kristen. Raja Mulia harus menjalankan amanah, pendidikan harus
dilakukan. Anak tunggalnya Raja Ungkap disekolahkan ke sekolah independent yang
dikelola pendidikan Inggeris di Tambunan yang berbasis di Singapura. Tidak
diwajibkan menganut agama tertentu.
Semula
Raja Ungkap dianggap para tokoh Parmalim akan menjadi lawan setelah menerima pendidikan
modern dan pergaulan dengan orang asing. Raja Mulia sebelumnya banyak menerima
hujatan dari para rekan seperjuangannya karena masalah pendidikan itu.Raja
Ungkap membuktikan sebaliknya. Walau tidak terlalu mulus, beliau mendirikan
Sekolah Parmalim (Parmalim School) tanggal 1 November 1932.
Sejak itu banyak anak Parmalim mendapatkan pendidikan.
Penganut Agama Batak tempo dulu banyak
ditarik menjadi Kristen melalui pendidikan yang dikelola mereka. Pada umumnya
para Parbaringin tidak setuju dengan pengorganisasian Ugamo Malim (Parmalim)
akhirnya terlindas dengan jaman. Dengan dibukanya sekolah Parmalim generasi
baru dibangun. Inilah sejarah awal dimulainya Parmalim baru yang lebih cerdas.
Pendidikan misi Kristen tidak memberi pengaruh pencerdasan generasi Parmalim
yang ada saat itu dan sekarang.
Raja
Mulia Naipospos menyerahkan tahta kepemimpinnan kepada putra tunggalnya Raja
Ungkap Naipospos pada tahun 1956. Raja Ungkap sebelumnya sudah mengalami pahit
getir penggemblengan diri dari Raja Mulia ayahandanya sendiri. Raja Ungkap
adalah generasi kedua dan pertama sekali menerima pendidikan sekolah. Beliau
menguasai Bahasa Inggeris, Belanda dan Jepang.
Dengan
berpedoman kepada prinsip parbinotoan naimbaru (ilmu pengetahuan baru), ngolu
naimbaru (hidup
lebih sejahtera) tondi na marsihohot (kepercayaan yang teguh),
beliau melanjutkan apa yang telah dibentuk dan dirintis Raja Mulia.
Beliau
juga memimpin misi penguatan ajaran Ugamo Malim bagi para pemeluknya yang
berpusat di Sait Ni Huta, Uluan. Gerakan itu juga meningkat hingga mencari
peluang kehidupan yang lebih baik dengan gerakan manombang.
Mereka
mencari peluang kehidupan baru di daerah Sumatera Timur – Simalungun tepatnya
daerah Bah Jambi. Disana berdiri sebuah perkampungan khusus untuk Parmalim dan
disebut Kampung Malim. Sejak itu, Parmalim menyebar dari Toba ke daerah subur
Sumatera bagian Timur.Langkah itu, telah memperkuat kesatuan (kelembagaan),
kemandirian, kedamaian, dan kekuatan iman Parmalim.
Pendidikan
dan pemanfaatan peluang kehidupan, kewirausahaan bukan ajaran baru bagi
Parmalim yang sampai saat ini sudah banyak menghasilkan SDM dan berperan di
berbagai kegiatan, pemerintahan maupun swasta.
Masyarakat
umum tidak dapat lagi mengenal Parmalim dalam pandangan yang kaku seperti sosok
dukun, berjambang, makan sirih, pakai tongkat, ikat kepala, pakai ulos, bau
kemenyan, ahli nujum dan lusuh. Image itu sejak lama dipraktekkan kelompok
tertentu dan menganggap Parmalim merupakan obyek yang perlu diselamatkan dan
digiring kehadapan Tuhan menurut cara mereka. Sampai saat ini pemahaman ini
masih ada, dan sejak masa pembentukan wujud Parmalim yang lebih maju dan
mandiri itu, sebaliknya masih banyak orang menganggap Parmalim sudah
punah.
Pernah sekelompok mahasiswa Sekolah tinggi
Agama dari Tarutung berkunjung ke Pusat Parmalim di Hutatinggi. Mereka berpikir
akan berhadapan dengan sosok manusia berjambang, makan sirih, pakaian serba
hitam, bau kemenyan dan asesori rumah tinggal dipenuhi patung-patung berhala
dan tunggal panaluan. Katanya itu dari refrensi mata kuliah mereka.
MAKNA PAMELEON BOLON
Sunday, 22 June 2008
Sunday, 22 June 2008
Mengucap syukur Kepada MULAJADI NABOLON
atas anugrah sepenjang tahun yang diberikan.
Setahun sudah bekerja,
bulan “sipahatolu” sudah tiba, hasil sudah didepan mata, padi menguning
memberikan harapan baru. Syukur kepada Pencipta, Dia yang memberi, Dia alamat
sembah, kepadaNya hasil ini lebih dulu dipersembahkan.
Bulir padi matang, bernas
dipilih, dipetik dengan tangan. Sebagian disimpan untuk bekal benih untuk musim
tanam mendatang, sebagian diolah menjadi “itak gurgur”. Inilah “matumona”
memetik perdana hasil panen untuk persembahan kepada Pencipta dan persiapan
benih.
Memasuki bulan
“sipahaopat” semua penduduk sudah selesai memetik hasil panen. Persembahan
akbar disiapkan. Raja menetapkan hari bulan mendatang, bulan purnama, samisara
purasa, bulan “sipahalima”. “Horbo sitingko tanduk siopat pusoran”
dipersiapkan. Kerbau pilihan memiliki empat pusar dan tanduk melingkar, gemuk dan tegar. Hasil
panen masyarakat dipilih yang terbaik, diolah menjadi “pelean” persembahan
kepada Mulajadi Nabolon bersama kerbau pilihan.
Uluan Bolon pilihan para
Raja Bius “martonggo” kepada Mulajadi Nabolon menghaturkan sembah, mengucap
syukur atas anugrah sepenjang tahun yang diberikan. Manifestasinya melalui
sikap tunduk sujudnya semua umat menghantar sajian debata ditata diatas
“Langgatan” altar persembahan. Sikap individu ditunjukkan dengan tarian yang
diiringi “ogung sada bangunan”, irama musik tradisi menghantar doa persembahan.
Batak diintervensi.
Menghaturkan sembah menurut tradisi batak pun dilarang. Membunyikan gendang
dianggap haram. Menyembah Mulajadi Nabolon dituding penyembahan berhala. Mereka
dipermalukan karena tidak mengenal jalan kebenaran. Sebagian besar dari mereka
berangsek meninggalkan tradisi upacara persembahan karena dinilai tidak
memiliki pengharapan.
Ada yang menolak,
berusaha bertahan. Sikap Hamalimon Batak harus dijalankan. Mereka memiliki
pengharapan, karena sudah dijalankan turun temurun bersamaan dengan pelembagaan
hukum dan aturan kemasyarakatan. Mereka berkumpul-mengkristal-terdiskriminasi,
termasuk dari mereka yang dulunya bersama-sama melakoni.
Inilah kemudian yang
dikenal dengan Ugamo Malim, sebutan kepada mereka Parmalim. Bertahan melakukan
persembahan kepada Mulajadi Nabolon sesuai tradisi yang sudah dijalankan para
leluhur.
Saat ini orang Batak
melihatnya seperti sesuatu yang aneh, kadang disebut tradisi Parmalim karena
mereka sudah sejak lama meninggalkannya walau itu dulunya tradisi Batak. Mereka
sudah menjadi bagian lain dari Batak, sehingga kegiatan yang dilakukan Parmalim
dinilai internal dan mereka berada pada bagian luar. Inilah dulunya yang
dituding upacara pemujaan berhala. Dan ini pula yang melekat di sanubari orang
batak menyebut para leluhurnya “sepele begu” karena tidak seperti “kekinian”
mereka. Mereka melihatnya hanya sebagai tontonan, kegiatan budaya yang
menghibur, obyek wisata.
Kekakuaan para “penuding”
tidak pernah disikapi Parmalim dengan cara bodoh. Selama rohaninya terpenuhi,
terus dilakoni walau diiringi caci-maki. Ada pengharapan Parmalim dengan
melakukan persembahan kepada Mulajadi Nabolon dan mohon pengampunan atas semua
kesalahan yang menjadi dosa selama satu tahun berjalan. Dipanjatkan doa
permohonan untuk satu tahun kedepan diberikan rejeki bertambah, kesehatan,
perumbuhan, kebijaksanaan dan kekuatan.
MAKNA MANGAN NAPAET
Tuesday, 19 February 2008
Tuesday, 19 February 2008
Napaet sebagai media pendekatan segala rasa
yang ada.
Orang Batak sejak dulu sudah memiliki hitungan hari dan bulan. Hari dihitung
setiap bulan sebanyak 29 dan 30 hari. Masing-masing hari beda sebutannya dan
berdasarkan itu mereka tau hari keberapa dan bulan ke berapa. Mereka mengamati
hari-hari itu dengan melihat tanda-tanda di “parlangitan” siklus bulan dan
bintang.
Hari-hari itu disebut :
1. Artia
|
11. Muda ni mangadop
|
21. Samisara Moraturun
|
2. Suma
|
12. Boraspati ni Tangkup
|
22. Artia ni Angga
|
3. Anggara
|
13. Singkora Purasa
|
23. Suma ni Mate
|
4. Muda
|
14. Samisara Purasa
|
24. Anggara ni Begu
|
5. Boraspati
|
15. Tula
|
25. Muda ni Mate
|
6. Singkora
|
16. Suma ni Holom
|
26. Boraspati Nagok
|
7. Samisara
|
17. Anggara ni Holom
|
27. Singkora Duduk
|
8. Artia ni Aek
|
18. Muda ni Holom
|
28. Samisara Bulan Mate
|
9. Suma ni Mangadop
|
19. Boraspati ni Holom
|
29. Hurung
|
10.Anggara Sampulu
|
20. Singkora Moraturun
|
30. Ringkar
|
Bulan dinamai dengan :
1. Sipahasada
|
5. Sipahalima
|
9. Sipahasia
|
2. Sipahadua
|
6. Sipahaonom
|
10.Sipahasampulu
|
3. Sipahatolu
|
7. Sipahapitu
|
11.Li
|
4. Sipahaopat
|
8. Sipahaualu
|
12.Hurung
|
Bulan terakhir setiap tahun dinamai Hurung
(kurung) dan hari ke 29 setiap bulan juga disebut Hurung. Setiap hari “hurung”
setiap bulannya biasanya dihindari kegiatan yang diharapkan akan berkembang,
misalnya menjemput ternak untuk peliharaan, tabur benih, melakukan acara
pengesahan perkawinan dan sebagainya. Mereka biasanya melakukan pendekatan
terhadap Mulajadi Nabolon dan pensucian diri setiap bulannya pada hari
“hurung”. Keesokan harinya, “ringkar” artinya keluar dari keterkungkungan.
Pada bulan yang sama “hurung” dan pada hari
yang sama “hurung” setiap akhir tahun mendapat perhatian yang lebih khusus.
Umumnya kegiatan secara total dihentikan. Tidak melakukan tanam benih, tidak
melakukan transaksi dagang, tidak saling memberi dan menerima sesuatu barang
untuk usaha pengembangan. Tidak melakukan “parhataan” pembahasan atas semua
aspek kehidupan bersama. Mereka melakukan kegiatan sendiri, menyendiri dalam
kegiatan satu keluarga. Mereka membatasi diri dari hubungan duniawi. Hal ini
disebut “marsolam diri”, membatasi diri dari hal keduniaan.
Aktifitas ini biasanya dilakoni mereka yang
teguh berdiri dalam paham “hamalimon” untuk mengamalkan ketaatannya kepada
Mulajadi Nabolon yang mereka percaya “sundung ni hangoluan” ujung dari tujuan
kehidupan. Arti kehidupan digambarkan dengan “hariara sundung dilangit” yang
diukirkan pada sisi rumah batak, yang mengartikan pohon kehidupan yang tajuknya
semakin mengerucut kearah “atas” yang diartikan dimana Mulajadi Nabolon
bersinggasana.
Saat penganut paham hadebataon “hamalimon”
terlindas oleh paham yang baru, mereka mengartikannya sebagai pahit getir
pejuang, penegak hamalimon batak yang dianugerahkan Mulajadi Nabolon di tanah
batak. Para Penegak hamalimon yang disebut “Malim” seperti Raja Uti,
Simarimbulubosi, dan Sisingamangaraja cukup mengalami pahit getir kehidupan
sehingga mereka disebut “Nasiak Bagi.”
Setelah penganut paham hamalimon batak yang
mengkristal dalam penuntunan Raja Mulia Naipospos, mereka memanfaatkan hari
“hurung” pada bulan “hurung” untuk memperingati “kegetiran”, kepahitan hidup
yang dialami para “Malim”. Momen ini juga dimanfaatkan untuk mengenang
“kegetiran” para pengikut para Malim dan pengalaman sendiri selama tahun
berjalan.
Para penganut Hamalimon Batak mengkristal
dalam sebutan “Parmalim” sejak tahun 1910 keatas. Parmalim melambangkan
peringatan “kepahitan” yang dialami para Malim dengan “Napaet”. Napaet
merupakan gabungan dari tumbuhan yang mengandung pahit, asam, pedas, kelat dan
asin.
Napaet juga melambangkan penderitaan para
pengikut malim itu, yaitu yang menyebut dirinya saat ini Parmalim. Napaet
memiliki pemaknaan yang lebih luas lagi. Napaet yang dialami para Malim adalah
karena upaya mereka menegakkan hukum kebenaran bagi bangso Batak. Sementara napaet
yang dialami oleh pengikutnya dibagi dalam dua bagian pengertian. Pertama ,
karena kesetiaannya mengikuti ajaran Malim sehingga sering mengalami penindasan
oleh orang-orang disekitarnya, terfitnah dan dituding “sesat”. Kedua, adalah
akibat dari kesalahannya sendiri terhadap hukum yang telah ditegakkan para
Malim, yang melakukan tindakan yang dapat merusak keutuhan Hamalimon dan
berdampak kepada kerusakan tatanan kemanusiaan. Ini disebut “dosa”.
Perbuatan dosa itu yang disadari
terakumulasi selama satu tahun berjalan, direnungi dan dimohon pengampunan
dalam bulan hurung hari hurung. Napaet sebagai media pendekatan segala rasa
yang ada pada indera manusia, dengan tidak mengkonsumsi makanan keseharian
selama 24 jam akan mengantarkannya ke ruang yang lebih “rohani” dan khusuk
mohon pengampunan. Inilah puncak pengajaran “marsolam diri”, membatasi diri
dari tuntutan duniawi.
Keesokan harinya “ringkar” (rungkar) keluar
dari perenungan penyesalan menjadi penerimaan anugerah pengampunan. Pada hari
ini, Parmalim “mangan natonggi”. Tidak serta merta dilambangkan oleh makanan
yang manis-manis, tapi menikmati apa yang menjadi konsumsi keseharian. Makan
bersama sesama komunitas dan mengekspresikan kebahagiaan.
Ringkar adalah hari terakhir setiap tahun
yang diperingati sebagai hari kebebasan setelah melakukan perenungan dan
pengampunan yang dalam. Keesokan harinya adalah Artia bulan Sipahasada. Hari
pertama tahun yang baru. Tidak ada kelajiman merayakan tahun baru bagi
masyarakat Batak tempo dulu. Mereka hanya mengenang kelahiran Simarimbulubosi,
“manusia dewa” penegak hukum yang diakui seantero tanah batak. Beliau penegak
hak azasi manusia dan penghargaan derajat perempuan. Beliau mengaturkan
pembuatan hukum adat dan menegakkan langsung di masyarakat. Beliau didewakan
orang-orang yang merasa terbebas dari penindasan dan orang hina yang terangkat
derajatnya. Beliau menyiratkan patik “unang, tongka dang jadi”.
Simarimbulubosi memiliki kekuatan dan
anugerah “keilahian” dari Mulajadi Nabolon dan disebut Tuhan yang diutus.
Beliau lahir pada hari Suma dan “diharoani” di Anggara bulan Sipahasada.
Raja Manghuntal Singamangaraja I juga lahir
pada hari Suma. Sehingga pada hari Suma dan Anggara, Parmalim memperingati
kelahiran para Malim yang diberkati Mulajadi Nabolon itu. Berkaitan dengan
kegiatan ritual pembersihan diri dan rohani yang sudah dilakukan pada hari
hurung akhir tahun, dan kebebasan “rungkar” pada hari “ringkar”. Dimulailah
tahun yang baru dengan menyambut roh (tondi nabadia) yang diutus Mulajadi
Nabolon yang disebut “tondi parorot, tondi pangajari, tondi panghophop” melalui
para Malim, Raja Uti, Simarimbulubosi, Sisingamangaraja dan Raja
Nasiakbagi.
Hari Artia bulan Sipahasada dianggap
sebagai “Robu”. Robu adalah hari sela diantara dua kegiatan yang berbeda. Robu
dapat juga diartikan hari tenggang setelah melakukan kegiatan tertentu. Jadi
jelas, saat ini Parmalim melakukan kegiatan pada Sipahasada bukan merayakan
tahun baru, tapi merayakan kelahiran para Malim dan menyambut pembaharuan
setelah di akhir tahun melakukan ritual pengampunan dosa.
Hari Raya Batak akan kami jelaskan pada
tulisan berikutnya PAMELEON BOLON.
Warisan
Penting Menteri Agama
Thursday, 17 July 2014
Peran Penting Pemerintah dalam membina kerukunan umat Beragama
KEHADIRAN negara dalam melindungi segenap anak bangsa, khususnya perlindungan bagi kaum minoritas, kerap dipersoalkan. Perbedaan keyakinan, misalnya, yang mestinya dirayakan sebagai bagian dari kekayaan peradaban bangsa, justru disikapi sebagai duri yang harus dilenyapkan. Tidak mengherankan bila dalam kurun hampir satu dekade terakhir, pesimisme ihwal nasib kebinekaan di Republik ini memuncak. Orang serbatakut berbeda keyakinan karena negara tidak menjamin keamanan mereka dalam menjalankan keyakinan itu. Namun, selalu saja ada oasis dari segelintir orang yang yakin bahwa keberagaman tak sepenuhnya mati. Mereka itulah, entah dari kalangan pegiat kemanusiaan, agamawan, maupun elite di pemerintahan, yang tak mau takluk begitu saja oleh kehendak penyeragaman. Nuansa itulah yang tampak dari pertemuan para penganut keyakinan minoritas di Indonesia dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat dengan jajaran Kementerian Agama di kediaman Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Selasa (15/7). Ada tokoh dari Parmalim, Ahlul Bait Indonesia, Majelis Bahai Indonesia, Sunda Wiwitan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, dan Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Kelompok agama minoritas hadir sebagai bagian dari anak bangsa yang kerap tak didengar. Karena itu, ketika Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menginisiasi pertemuan dengan maksud mendengar apa yang mestinya didengar pemerintah, apresiasi yang sangat tinggi patut kita sampaikan. Dengan menggelar pertemuan tersebut Lukman Hakim sedang membuktikan bahwa negara tidak sepenuhnya absen dalam merawat kebinekaan. http://video.metrotvnews.com/play/2014/07/17/266689/warisan-penting-menteri-agama
Thursday, 17 July 2014
Peran Penting Pemerintah dalam membina kerukunan umat Beragama
KEHADIRAN negara dalam melindungi segenap anak bangsa, khususnya perlindungan bagi kaum minoritas, kerap dipersoalkan. Perbedaan keyakinan, misalnya, yang mestinya dirayakan sebagai bagian dari kekayaan peradaban bangsa, justru disikapi sebagai duri yang harus dilenyapkan. Tidak mengherankan bila dalam kurun hampir satu dekade terakhir, pesimisme ihwal nasib kebinekaan di Republik ini memuncak. Orang serbatakut berbeda keyakinan karena negara tidak menjamin keamanan mereka dalam menjalankan keyakinan itu. Namun, selalu saja ada oasis dari segelintir orang yang yakin bahwa keberagaman tak sepenuhnya mati. Mereka itulah, entah dari kalangan pegiat kemanusiaan, agamawan, maupun elite di pemerintahan, yang tak mau takluk begitu saja oleh kehendak penyeragaman. Nuansa itulah yang tampak dari pertemuan para penganut keyakinan minoritas di Indonesia dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat dengan jajaran Kementerian Agama di kediaman Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Selasa (15/7). Ada tokoh dari Parmalim, Ahlul Bait Indonesia, Majelis Bahai Indonesia, Sunda Wiwitan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, dan Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Kelompok agama minoritas hadir sebagai bagian dari anak bangsa yang kerap tak didengar. Karena itu, ketika Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menginisiasi pertemuan dengan maksud mendengar apa yang mestinya didengar pemerintah, apresiasi yang sangat tinggi patut kita sampaikan. Dengan menggelar pertemuan tersebut Lukman Hakim sedang membuktikan bahwa negara tidak sepenuhnya absen dalam merawat kebinekaan. http://video.metrotvnews.com/play/2014/07/17/266689/warisan-penting-menteri-agama
HAMALIMON BATAK
Hubungan dengan Mulajadi Nabolon disebut “Ugamo”
inti ajaran dalam menjalankan hubungan itu disebut “Hamalimon”.
Pengertian “Malim” ada dua bagian: “Malim”
sebagai sifat dasar yang dituju, berawal dari “Haiason” dan “Parsolamon”. Yang
kedua adalah “Malim” sebagai sosok pribadi.
Haiasaon
diartikan kebersihan. Kebersihan fisik dan rohani. Parsolamon diartikan
membatasi diri dari menikmati dan bertindak.
Ada beberapa pribadi leluhur di tanah batak
yang dianggap sebagai Malim, yakni Raja Uti, Simarimbulubosi dan
Sisingamangaraja.
Mereka menganjurkan panyampaian persembahan
kepada Mulajadi Nabolon yang disebut Pelean Debata “na ias jala malim” bersih
dan suci. Pelaksanaannya diawali dari pribadi (keluarga) seperti penyampaian
“patumona ni naniula” kegiatan se kampung yang merupakan klan dalam satu parsantian.
Biasanya
kumpulan satu rumpun keluarga semarga termasuk boru dan paisolat (pendatang).
Persembahan suci sebagai ucapan
syukur kepada Mulajadi Nabolon dilakukan pada Upacara Bius dengan
persembahan kerbau yang disebut Horbo Santi atau Horbo Bius.
Horbo
Santi, seekor kerbau (sitingko tanduk siopat pusoran) pilihan bertanduk bulat
dan empat pusar. Kerbau ini dipelihara berbulan-bulan sebelum dipersembahkan.
Kerbau ini bila masuk kehalaman orang, dianggap anugerah, bila masuk ke kebun
tidak didenda.
HARAJAON BATAK
Raja Uti dikenal menerima amanah
mengajarkan Hamalimon dan pola penyembahan terhadap Mulajadi Nabolon. Beliau
juga menerima amanat “Harajaon” pertama sekali di tanah Batak walaupun tidak
dilakukan secara terlembaga. Raja Uti dianugerahi Mulajadi Nabolon “Mula ni
Harajaon na marsuhi ni ampang naopat”.
Suhi
ni ampang naopat menjadi dasar konsep kelembagaan masyarakat, harajaon dan
paradaton. Harajaon Bius yang kemudian dikembangkan Sisingamangaraja selalu
mengacu kepada empat orang Raja utama. Mereka disebut Pargomgom, Pangumei,
Partahi dan Namora. Keempat Raja ini dilengkapi perangkat tambahan yang
penyebutannya berbeda di masing-masing bius, seperti parmaksi, partingting,
nabegu dll. Untuk menghindari adanya kasta diantara mereka sering juga disebut
Raja Naualu. Keempat Raja tadi lajim juga disebut Raja Naopat atau Raja
Maropat. Raja Bius juga disebut Raja Parbaringin. Konsep ini sudah lama di
tanah Batak sebelum mengenal raja Merampat di Aceh, karena kebetulan saja sama.
Sering peneliti menyatakan Sisingamangaraja meniru konsep ini dari Aceh.
Sisingamangaraja menerima wejangan dari
Raja Uti untuk pelaksanaan amanah “maningahon” harajaon, patik, uhum,
hamalimon. Harajaon “na marsuhi ni ampang naopat” tetap menjadi landasan pelaksanaannya.
Otonomi dinikmati masyarakat. Beliau tidak
menjadi raja untuk kekuasaan sentral. Demokrasi Batak dibangun dan dipelihara.
Tujuan ketakwaan kepada Mulajadi Nabolon dipenuhi, hormat kepada pemimpin
masyarakat (pantun marraja) dan sayang terhadap sesama manusia.
Bius dibenahi menjadi Dewan Pertimbangan
Kebijaksanaan yang dilakukan oleh Huta. Bius diwajibkan memenuhi syarat
memiliki “onan” untuk bursa ekonomi rakyat dan berfungsi ganda meliputi
pelayanan kesehatan dan pelayanan pertimbangan hukum. Di onan juga disediakan
area “partungkoan” para pemimpin “raja-raja” bius, huta dan perangkatnya.
Onan
adalah pekan atau pasar. Onan dibentuk sebagai persyaratan ini menjadi bius.
Ada hukum di onan yang disebut, osos hau tanggurung tongka masipaurakan. Bila
terjadi persenggolan tidak boleh bersengketa. Onan dijaga oleh seorang pendekar
partigabolit menjamin keamanan. Di Onan dilakukan mediasi permasalahan hukum
oleh para Raja Bius dan juga Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat oleh Sibaso
dan Tiang Aras.
Bius juga melakukan “Pardebataon” minimal
sekali dalam satu tahun yakni peyampaian persembahan kepada Mulajadi Nabolon
atas limpahan rejeki hasil panen yang diberikan.
Agamanya (Ugamo?) ada pada tatanan
keteraturan, kedamaian dan ketakwaan kepada Mulajadi Nabolon dengan mempedomani
syarat Hamalimon. Sistem ini yang kemudian dikenal dengan Harajaon Malim.
MASA
KRISIS
Sisingamangaraja XI sudah melihat adanya
ancaman kemerosotan kepercayaan yang tumbuh sejak lama di tanah Batak. Dampak
dari serangan padri sangat terasa dalam perubahan moral dan perekonomian.
Tatanam kemasyarakatan, adat, patik, uhum, harajaon, dan hamalimon terancam
punah.
Pada era Sisingamangaraja XII pergolakan di
Tanah Batak semakin keruh, pembangkangan semakin banyak, keberpihakan kepada
penjajah dan misi baru semakin deras. Dulunya para Raja Bius Parbaringin yang
sangat mendukung Raja Sisingamangaraja XII menentang penjajahan mulai merosot.
Diantara kerabat para raja tradisional itu ada yang diangkat kolonial menjadi
raja versi mereka. Para raja angkatan penjajah ini melakukan pendekatan dan
penekanan kepada para Raja Parbaringin dan para pejuang pro Sisingamangaraja
XII untuk melenturkan peranannya.
Pada suatu ketika, Raja Sisingamangaraja
XII membuat maklumat bahwa beliau sakit. Para Raja Bius menjadi pesimis, tidak
seorangpun menjenguk beliau. Pada saat itu Raja Mulia Naipospos Raja
Parbaringin dari Bius Laguboti berangkat menuju Bakkara. Ternyata Raja
Sisingamangaraja XII sehat walafiat. Kepada Raja Mulia dipaparkan ancaman yang
akan datang dan semakin lemahnya dukungan perjuangan menentang penjajahan.
Hamalimon dalam Habatahon itu akan pupus
bila dibiarkan tanpa pertahanan. Sisingamangaraja XII menyusun strategi lebih
tegas dalam bentuk aksi. Raja Mulia memegang teguh peranannya untuk tidak
muncul sebagai sosok perlawanan anti kolonial, sehingga lebih didekatkan kepada
Missionaris Nommensen di Sigumpar. Ini merupakan pengkaderan secara
terselubung agar tidak segera dipatahkan oleh gerakan misi kristen dan penjajah.
Guru Somalaing Pardede melakukan aksi
pengorganisasian hamalimon. Sisingamangaraja XII sebelumnya lebih
mempercayainya sebagai penasehat perang.
Ajaran
Guru Somalaing makin mengkristal. Sebelumnya Raja Sisingamangaraja XII sudah
mengetahui ajarannya ada dipengaruhi kepercayaan Romawi oleh Modigliano dengan
penambahan tokoh spiritual Patuan Raja Rum, dan tidak mendapat restu. Gerakan spontan
ini mengakibatkan beliau ditangkap dan dibuang.
Setelah
Raja Sisingamangaraja XII diumumkan gugur 17 Juni 1907 dalam perjuangan melawan
penjajah, tanah batak berduka, ada yang pesimis dan ada yang optimis. Yang
pesimis mengikuti jejak penjajah, dan yang optimis tetap melakukan perjuangan
mempertahankan hak dan kebebasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar