Lalu
lintas pergaulan hukum di Indonesia telah memperkenalkan dan membenarkan
pemberian kuasa mutlak. Judulnya surat kuasanya, “Kuasa Mutlak”, yang memuat
klausul sebagai berikut:
·
Pemberi Kuasa tidak dapat mencabut kembali
kuasa yang diberikan kepada Penerima Kuasa
·
Meninggalnya Pemberi Kuasa, tidak mengakhiri
perjanjian pemberian kuasa.
Klausul
di atas sebagai ciri Kuasa Mutlak, yang menyingkirkan ketentuan Pasal 1813
KUHPer. Pembuatan Kuasa Mutlak bertitik tolak dari prinsip kebebasan berkontrak
(freedom of contract) yang terdapat
dalam Pasal 1338 KUHPer. Asas ini menegaskan, para pihak bebas mengatur
kesepakatan yang mereka kehendaki, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan
Pasal 1337 KUHPer, yaitu kesepakatan itu tidak mengandung hal yang dilarang (prohibition) oleh undang-undang atau
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum (morals and public order).
Pembuatan
Kuasa Mutlak berpedoman pada yurisprudensi. Salah satu di antaranya, Putusan MA
No. 3604 K/pdt/1985.[1]
Putusan ini merupakan penegasan ulang atas pertimbangan hukum yang terdapat
dalam Putusan MA No. 731 K/Sip/1975,[2]
yang antara lain menyatakan:
-
Surat Kuasa Mutlak tidak dijumpai aturannya
dalam KUHPer, namun demikian, yurisprudensi mengakui keberadaannya sebagai suatu
syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan atau menurut kebiasaan
selamanya diperjanjikan (bestendig
gebruikelijk beding) atau disebut juga perpetual
and usual or customary condition;
-
Putusan MA No. 731 K/Sip/1975 telah menegaskan
ketentuan Pasal 1813 KUH Perdata, tidak bersifat limitatif dan juga tidak
mengikat. Oleh karena itu, jika para pihak dalam perjanjian menghendaki, dapat
disepakati agar pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali (irrevocable, onherroeplijk). Pendirian
ini, didasarkan pada doktrin bahwa pasal-pasal hukum perjanjian adalah hukum
yang bersifat mengatur (additional law);
-
Begitu juga meninggalnya Pemberi Kuasa
dikaitkan dengan Surat Kuasa Mutlak, telah diterima penerapannya di Indonesia
sebagai sesuatu yang telah bestendig, sehinggap dianggap tidak bertentangan
dengan Pasal 1339 dan Pasal 1347 KUH Perdata.
Akan
tetapi ada pengecualian yang termuat dalam Instruksi Mendagri No. 14 Tahun
1982; Notaris dan PPAT dilarang memberi Surat Kuasa Mutlak dalam transaksi
jual-beli tanah. Pemilik tanah dilarang memberi Kuasa Mutlak kepada Kuasa untuk
menjual tanah miliknya. Alasan larangan itu, dijelaskan dalam Putusan MA No.
2584 K/Pdt/1986, yang mengatakan: Surat Kuasa Mutlak, mengenai jual-beli tanah
tidak dapat dibenarkan karena dalam praktik sering disalahgunakan untuk
menyeludupkan jual-beli tanah.
SEMOGA
BERMANFAAT & MENAMBAH KHAZANAH ILMU PENGETAHUAN TEMAN-TEMAN!
Disarikan
oleh Viswandro dari buku M Yahya Harahap, S.H.
(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Mulawarman, Samarinda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar