Kamis, 18 September 2014

KUASA MUTLAK

Lalu lintas pergaulan hukum di Indonesia telah memperkenalkan dan membenarkan pemberian kuasa mutlak. Judulnya surat kuasanya, “Kuasa Mutlak”, yang memuat klausul sebagai berikut:
·         Pemberi Kuasa tidak dapat mencabut kembali kuasa yang diberikan kepada Penerima Kuasa
·         Meninggalnya Pemberi Kuasa, tidak mengakhiri perjanjian pemberian kuasa.
Klausul di atas sebagai ciri Kuasa Mutlak, yang menyingkirkan ketentuan Pasal 1813 KUHPer. Pembuatan Kuasa Mutlak bertitik tolak dari prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPer. Asas ini menegaskan, para pihak bebas mengatur kesepakatan yang mereka kehendaki, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Pasal 1337 KUHPer, yaitu kesepakatan itu tidak mengandung hal yang dilarang (prohibition) oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum (morals and public order).
Pembuatan Kuasa Mutlak berpedoman pada yurisprudensi. Salah satu di antaranya, Putusan MA No. 3604 K/pdt/1985.[1] Putusan ini merupakan penegasan ulang atas pertimbangan hukum yang terdapat dalam Putusan MA No. 731 K/Sip/1975,[2] yang antara lain menyatakan:
-   Surat Kuasa Mutlak tidak dijumpai aturannya dalam KUHPer, namun demikian, yurisprudensi mengakui keberadaannya sebagai suatu syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan atau menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan (bestendig gebruikelijk beding) atau disebut juga perpetual and usual or customary condition;
-   Putusan MA No. 731 K/Sip/1975 telah menegaskan ketentuan Pasal 1813 KUH Perdata, tidak bersifat limitatif dan juga tidak mengikat. Oleh karena itu, jika para pihak dalam perjanjian menghendaki, dapat disepakati agar pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali (irrevocable, onherroeplijk). Pendirian ini, didasarkan pada doktrin bahwa pasal-pasal hukum perjanjian adalah hukum yang bersifat mengatur (additional law);
-   Begitu juga meninggalnya Pemberi Kuasa dikaitkan dengan Surat Kuasa Mutlak, telah diterima penerapannya di Indonesia sebagai sesuatu yang telah bestendig, sehinggap dianggap tidak bertentangan dengan Pasal 1339 dan Pasal 1347 KUH Perdata.
Akan tetapi ada pengecualian yang termuat dalam Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982; Notaris dan PPAT dilarang memberi Surat Kuasa Mutlak dalam transaksi jual-beli tanah. Pemilik tanah dilarang memberi Kuasa Mutlak kepada Kuasa untuk menjual tanah miliknya. Alasan larangan itu, dijelaskan dalam Putusan MA No. 2584 K/Pdt/1986, yang mengatakan: Surat Kuasa Mutlak, mengenai jual-beli tanah tidak dapat dibenarkan karena dalam praktik sering disalahgunakan untuk menyeludupkan jual-beli tanah.
SEMOGA BERMANFAAT & MENAMBAH KHAZANAH ILMU PENGETAHUAN TEMAN-TEMAN!
8836_520872707973835_1296103914_n.jpg
 Disarikan
oleh Viswandro dari buku M Yahya Harahap, S.H.
(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda)


[1] Putusan MA tanggal 17 November 1985
[2] Putusan MA tanggal 16 Desember 1975

Tidak ada komentar:

Posting Komentar